About

Pages

Senin, 16 Mei 2016

Menelisik Falsafah Angka Bahasa Jawa

Hasil gambar untuk wong jawa

Indonesia menyimpan begitu banyak kekayaan dan keragaman budaya, tak hanya satu atau dua budaya layaknya budaya yang terdapat di negara – negara lain, namun sangat banyak bahkan sangat sulit untuk di hitung bila kita teliti dengan seksama. Dengan jumlah suku bangsa yang kurang lebih terdiri dari 700 suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, maka tak mengherankan apabila negara Indonesia mempunyai begitu banyak keragaman dan kekayaan budaya. Sebagai warga negara Indonesia, tentu saja hal ini sangat membanggakan bagi kita.


Bicara tentang kekayaan dan keragaman budaya Indonesia, tak lengkap apabila tidak membicarakan budaya suku Jawa. Suku yang paling mendominasi  di Indonesia ini merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta budayanya. Bahkan dalam segi bahasa suku inilah yang memiliki bahasa paling berbeda. Terkait tentang bahasa di suku jawa, ternyata pelafalan dan setiap kata dalam bahasa jawa memiliki filosofinya tersendiri. Bahkan orang-orang dulu di jawa percaya akan mitos tentang rahasia cinta hingga ajal manusia di balik pelafalan angka-angka dalam bahasa jawa. Mungkin sudah banyak sahabat blogger lainnya yang sudah post tentang artikel ini, namun apa salahnya berbagi, karena tak banyak juga di antara kita yang belum mengetahuinya sama sekali.


Dalam bahasa jawa sendiri, terdapat penyimpangan pola penamaan bilangan yang konon memiliki filosofi yang sangat dalam maknanya jika dikaitkan dengan usia seseorang. Bila kita cermati dengan teliti dan seksama, penyimpangan ini memang berbeda dari lazimnya penyebutan angka-angka di kepulauan melayu dan nusantara. Penyimpangan tersebut di mulai dari angka belasan hingga 60, apabila di pikirkan secara seksama, penyebutan tersebut erat kaitannya dengan umur manusia. Mengingat usia 60 merupakan panjang rata-rata usia seseorang. Lalu apa saja makna angka-angka lainnya  ? mari kita simak.

Hasil gambar untuk angka dalam bahasa jawa


Di mulai dengan angka 11-19, dalam bahasa jawa angka 11 tidak di sebut “sepuluh siji”, angka 12 tidak disebut dengan “sepuluh loro” dan seterusnya hingga 19 tidak di sebut “sepuluh songo”. Akan tetapi angka 11 disebut “sewelas”, 12 disebut “rolas” dan seterusnya hingga 19 yang disebut “songolas”. Ternyata penyebutan angka “welasan” memiliki filosofi bahwa pada usia 11-19 adalah saat-saat “belas kasih” ( welas asih ), yang artinya adalah berseminya rasa pada jiwa seseorang terutama terhadap lawan jenis, atau dalam arti lain merupakan masa akil baligh atau masa remajanya seseorang.


Angka selanjutnya adalah 20-29, dalam bahasa lain biasanya mengikuti pola yang ada. Misalnya pada bahasa Indonesia, di ucapkan dua puluh satu, dua puluh dua dan seterusnya hingga dua puluh Sembilan. Namun dalam bahasa jawa tidak demikian, pelafalannya bukan angka 21 di ucapkan “rongpuluh siji” dan seterusnya, namun 21 disebut “selikur” dan seterusnya hingga 29 yang disebut “songolikur”, terkecuali pada angka 25 yang disebut “selawe”. Kata likur dalam mitos yang di percayai masyarakat jawa merupakan bentuk akronim dari “LInguh KURsi”. Jika dihubungkan dengan usia manusia, usia 21-29 pada umumnya manusia mendapatkan “tempat duduknya” atau pekerjaannya. Sedangkan angka 25 di ucapkan “selawe” hal ini karena “selawe” sendiri merupakan akronim dari “SEneng-senenge Lanang lan WEdok” itulah puncak asmara laki-laki dan perempuan, yang ditandai oleh pernikahan, maka pada usia itulah umumnya seorang laki-laki berumah tangga. Dengan tidak menutup kemungkinan tidak semua orang menikah pada usia tersebut, namun rata-rata orang menikah adalah pada usia 25.


Dari angka 30-49, penamaan angka di baca normal sesuai pola yang ada. Namun penyimpangan kembali ada pada bilangan 50-59, bila mengikuti pola yang ada seharusnya 50 dibaca “limang puluh” namun tidak demikian, angka 50 di baca “seket” sampai 59. Ternyata dalam mitos masyarakat jawa, “seket” merupakan kependekan dari “SEneng KEThonan” yang artinya “senang memakai Kethu/tutup kepala ( topi, kopiah,dan sebagainya”. Ternyata benar pada usia 50 kebanyakan manusia mengalami ubanan atau kerontokan rambut, sehingga kepala harus sering ditutupi dengan penutup. Makna lainnya, kethu dapat pula diartikan sebagai kopiah untuk mengingatkan manusia agar lebih memperhatikan ibadahnya. Setelah sejak umur “likuran” bekerja keras mencari kekayaaan untuk kehidupan dunia, maka memasuki usia 50 perbanyaklah ibadah untuk bekal memasuki kehidupan akhirat.


Dan yang terakhir adalah penyebutan angka 60 yang dalam bahasa jawa tidak disebut “enem puluh” melainkan “Sewidak atau Suwidak”. Kata “Sewidak” di percaya masyarakat jawa sebagai kependekan dari “Sejatine Wis wayahe tinDAK”. Yang maknanya, sesungguhnya pada usia tersebut sudah saatnya seseorang bersiap-siap untuk meninggalkan dunia fana ini. Maka dari itu apabila usia kita sudah mencapai 60, lebih berhati-hatilah dan tentu saja semakin banyaklah bersyukur, karena usia selebihnya merupakan bonus dari yang maha kuasa.
Hasil gambar untuk angka dalam bahasa jawa

Terlepas dari salah satu kebudayaan yang saya jelaskan tadi, bahwasannya selain memiliki banyak ragam budaya, Indonesia juga memiliki suatu keunikan tersendiri dari berbagai kebudayaan tersebut. Di lain kesempatan saya akan berbagi pengetahuan tentang budaya dan adat istiadat suku lain nya.


Sudah seharusnya sebagai generasi muda Indonesia patutnya kita bangga dan berusaha menghalau budaya-budaya luar yang mampu menggerus kearifan budaya lokal. Kalau bukan kita para generasi muda siapa lagi yang akan menjaga kekayaan bumi Nusantara ini.

1 komentar: